The Reason - Hoobastank Mp3
Mp3-Codes.com

Minggu, 12 Juni 2011

Misi Hidup Dalam Sebuah Kerja




Seorang wanita tua, bertubuh gemuk, dengan senyum jenaka di sela-sela pipinya yang bulat, duduk menggelar nasi

bungkus dagangannya. Segera saja beberapa pekerja bangunan dan kuli angkut yang sudah menunggu sejak tadi

mengerubungi dan membuatnya sibuk meladeni. Bagi mereka menu dan rasa bukan soal, yang terpenting adalah harganya

yang luar biasa murah.

Hampir-hampir mustahil ada orang yang bisa berdagang dengan harga sedemikian rendah. Lalu apa untungnya? WAnita itu

terkekeh menjawab, "Bisa numpang makan dan beli sedikit sabun." Tapi bukanlah ia bisa menaikkan harga sedikit?

Sekali lagi itu terkekeh, "Lalu bagaimana kuli-kuli itu bisa beli? siapa yang mau menyediakan sarapan buat mereka?"

katanya sambil menunjukkan para lelaki yang kini berlompatan ke atas truk pengantar mereka ke tempat kerja.

Ah! Betapa cantiknya, bila sebongkah misi hidup dipadukan dalam sebuah kerja. Orang-orang yang memahami benar

kehadiran karyanya, sebagaimana wanita tua di atas, yang bekerja demi setitik kesejahteraan hidup manusia, adalah

tiang penyangga yang menahan langit agar tak runtuh. Merekalah beludru halus yang membuat jalan hidup yang tampak

keras berbatu ini menjadi lembut bahkan mengobati luka. Bukankah demikkian tugas kita dalam kerja: menghadirkan

secercah kesejahteraan bagi sesama.

Garam dan Telaga




Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung

banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak hanya mendengarkannya dengan

seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu

ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. "Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak Tua itu.

"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.

Pak Tua itu sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan tempat

tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu lalu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu , dibuatnya gelombang

mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. "Coba, ambil air dari telaga ini, dan

minumlah." Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?"

"Segar.", sahut tamunya. "Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?". tanya Pak Tua lagi. "Tidak". jawab si anak

muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di

samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitny kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak

kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan

didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu

merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu

menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu,

adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, Jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang

mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hati itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menympan

"segenggam garam", untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Malaikat Pelindung


Suatu ketika, ada seorang bayi yang siap untuk dilahirkan. Maka, ia bertanya kepada Tuhan. "Ya Tuhan, Engkau akan

mengirimku ke bumi. Tapi, aku takut, aku masih sangat kecil dan tak berdaya. Siapakah nanti yang akan melindungiku

disana?".

Tuhanpun menjawab. "Diantara semua malaikat-Ku, Aku akan memilih seorang yang khusus untukmu. Dia akan merawatmu dan

mengasihimu." Si kecil bertanya lagi, "Tapi, disini, di surga ini, aku tak berbuat apa-apa, keculai tersenyum dan

bernyanyi. Semua itu cukup membuatku bahagia. Tuhanpun menjawab, "Tak apa, malaikatmu itu, akan selalu

menyenandungkan algu untukmu, dan dia akan membuatmu tersenyum setiap hari. Kamu akan merasakan cinta dan kasih

sayang, dan itu semua pasti akan membuatmu bahagia." Namun si kecil bertanya lagi, "Bagaimana aku bisa mengerti

ucapan mereka, jika aku tak tahu bahasa yang mereka pakai?"

Tuhanpun menjawab, "Malaikatmu itu, akan membisikkanmu kata-kata yang paling indah, dia akan selalu sabar ada di

sampingmu, dan dengan kasihnya, dia akan mengajarkanmu berbicara dengan bahasa manusia." Si kecil ebrtanya lagi,

"Lalu, bagaimana jika aku ingin berbicara padamu, ya Tuhan?"

Tuhanpun kembali menjawab, "Malaikatmu itu, akan membimbingmu. Dia akan menengadahkan tangannya bersamamu, dan

mengajarkanmu untuk berdoa." Lagi-lagi, si kecil menyelidik, "Namun, aku mendengar, disana, ada banyak sekali orang

jahat, siapakah nanti yang akan melindungiku?"

Tuhanpun menjawab, "Tenang, malaikatmu akan terus melindungimu, walaupun nyawa yang menjadi taruhannya. Dia, sering

akan melupakan kepentingannya sendiri untuk keselamatanmu." Namun, si kecil kini malah sedih, "Ya Tuhan, tentu akan

sedih jika tak melihat-Mu lagi."

Tuhan menjawab lagi, "Malaikatmu akan selalu mengajarkanmu keagungan-Ku, dan dia akan mendidikmu, bagaimana agar

selalu patuh dan taat pada-Ku. Dia akan selalu membimbingmu untuk selalu mengingat-Ku. Walau begitu, Aku akan selalu

ada disisimu."

Hening.... Kedamaianpun tetap menerpa surga. Namun, suara-suara panggilan dari bumi terdengar sayup-sayup.

"Ya Tuhan, aku akan pergi sekarang, tolong, sebutkan nama malaikat yang akan melindungiku...."

Tuhanpun kembali menjawab. "Nama malaikatmu tak begitu penting. Kamu akan memanggilnya dengan sebutan:

Ibu..."

Bersyukurlah Pada Apa Saja



Anda wajib mensyukuri apa pun yang menimpa anda. Ini bukan masalah keberuntungan. Bersyukur menuntun anda untuk

senantiasa menyingkirkan sisi negatif dari hidup. Orang lain mungkin mengatakan bahwa anda tidak realistis. Namun,

sebenarnya sikap anda jauh lebih realistis, yaitu membebaskan diri anda dari kecemasan atas kesalahan.

Bersyukur mendorong anda untuk bergerak maju dengan penuh antusias. Tak ada yang meringankan hidup anda selain sikap

bersyukur. Semakin banyak anda bersyukur semakin banyak anda menerima. Semakin banyak anda mengingkari, semakin

berat beban yang anda jejalkan pada diri anda. Kebanyakan orang lebih terpaku pada kegagalan lalu mengingkarinya.

Sedikit sekali yang melihat pada keberhasilan allu mensyukurinya. Karena, anda takkan pernah berhasil lalu

mensyukurinya. Karena, anda takkan pernah berhasil dengan menggerutu dan berkeluh kesah. Anda berhasil karena

berusaha. Sedangkan usaha anda lakukan karena anda melihat sisi positif. Hanya dengan bersyukurlah sisi positif itu

tampak di pandangan anda.

Tindakan Kita Sebatas Kita Memandang Dunia

Tindakan Kita Sebatas Kita Memandang Dunia

Bila anda memandang diri anda kecil, dunia akan tampak sempit, dan tindakan anda pun jadi kerdil.

Namun, bila anda memandang diri anda besar, dunia terlihat luas, anda pun melakukan hal-hal penting dan berharga.

Tindakan anda adalah cermin bagaimana anda melihat dunia. Sementara dunia anda tak lebih luas dari pikiran anda

tentang diri anda sendiri. Itulah mengapa kita diajarkan untuk berprasangka positif pada diri sendiri, agar kita

bisa melihat dunia lebih indah, dan bertindak selaras dengan kebaikan-kebaikan yang ada dalam pikiran kita. Padahal

dunia tak butuh penilaian apa-apa dari kita. Ia hanya memantulkan apa yang ingin kita lihat. Ia menggemakan apa yang

ingin kita dengar. Bila kita takut menghadapi dunia, sesungguhnya kita takut menghadapi diri kita sendiri.

Maka, bukan soal apakah kita berprasangka positif atau negatif terhadap diri sendiri. Melampaui di atas itu, kita

perlu jujur melihat diri sendiri apa adanya. Dan, Dunia pun menampakkan realitanya yang selama ini tersembunyi di

balik penilaian-penilaian kita.